JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER
MATA KULIAH EKOLOGI
HEWAN
Mata
Kuliah
|
EKOLOGI HEWAN
|
|
Dosen Pembina
|
HUSAMAH, S.Pd
|
|
Program
Studi
|
PENDIDIKAN BIOLOGI
|
|
Nama Mahasiswa dan NIM/Kelas
|
YUSI ANISATUL MAWADDAH
201110070311088 / IV C |
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MALANG
APRIL
2013
PETUNJUK
PENGERJAAN TAKE HOME
1.
Untuk
memahami soal-soal take home ini, sebaiknya Anda berdiskusi dengan teman. Lalu
kemudian, silahkan jawab sesuai dengan literatur yang Anda miliki dan sesuai
dengan pemahaman masing-masing. Jawaban yang menurut dosen pembimbing memiliki
tingkat kesamaan tinggi/mencurigakan maka tidak akan diproses!
2.
Setiap
jawaban sebaiknya juga dilengkapi dengan literatur. Jadi, jawab dulu sesuai
dengan pemahaman Anda dan dukung dengan literatur! Tuliskan literatur yang anda
gunakan pada bagian akhir. Jawaban yg bersumber dari buku dan jurnal ilmiah
maka akan ada nilai tambah.
3.
Perhatikan
teknik penulisan, banyak sedikitnya salah ketik dan kebakuan kalimat juga
menjadi penilaian!
4.
Jawaban
ini juga harus di-upload di blog masing-masing. Jika Anda bisa me-linkan
jawaban dengan literatur maka ada nilai tambah.
SOAL
1.
Konsep waktu-suhu yang berlaku pada hewan poikilotermik sangat berguna aplikasinya
dalam pengendalian hama pertanian, khususnya
dari golongan serangga. Jelaskan arti konsep waktu secara singkat, dan berikan
contoh ulasannya terkait dengan kasus ulat bulu yang menyerbu tanaman mangga di
Probolinggo Tahun 2010.
2.
Jelaskan pemanfaatan konsep
kelimpahan, intensitas dan prevalensi, disperse, fekunditas, dan kelulushidupan
dalam kaitannya dengan penetapan hewan langka!
3.
Jelaskan aplikasi konsep interaksi populasi,
khususnya parasitisme dan parasitoidisme, dalam pengendalian biologis. Berikan
contohnya!
4.
Nilai sikap dan karakter apa yang harus
ditumbuhkan pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam ekologi hewan? Berikan
contoh riilnya!
5.
Uraikan satu contoh pemanfaatan indikator hewan
untuk monitoring kondisi lingkungan secara mendetail, mulai dari jenis, prinsip
dan praktik pemanfaatannya!
6.
Apakah manfaat pengetahuan tentang relung bagi
aktivitas konservasi? Berikan salah satu contoh hewan langka, lakukan kajian
tentang relungnya. (dalam satu kelas, hewan yang dikaji tidak boleh sama)!
JAWABAN :
1. Suhulingkungan menentukan suhu tubuh bagi hewan poikiloterm atau yang sering
disebut hewan berdarah dingin. Suhu menjadi faktor pembatas bagi makhluk hidup
terutama hewan poikiloterm. Suhu tubuh menentukan kerja enzim-enzim yang
diperlukan oleh tubuh makhluk hidup yang berfungsi membantu proses metabolisme
dalam tubuh. Dari sudut pandang ekologi, suhu lingkungan sangat penting
terutama bagi hewan poikiloterm untuk aktivitas dan pengaruh terhadap laju
perkembangannya.
Suhu
lingkungan mempengaruhi suhu tubuh dari hewan-hewan poikiloterm. Bahkan suhu
ini menjadi faktor pembatas bagi kebanyakan makhluk hidup. Suhu tubuh menetukan
kerja enzim-enzim yang membantu metabolisme di dalam tubuh. Kepentingan suhu
ini tidak hanya pada aktivitasnya melainkan pula berkaitan dengan laju
perkembangannya. Dalam kisaran yang tidak mematikan, pengaruh paling
penting oleh suhu terhadap hewan poikiloterm dari sudut pandang ekologik adalah
pengaruh suhu atas perkembangan dan pertumbuhan. Dalam hal ini langsung tampak
adanya hubungan linear antara laju perkembangan jika dikaitkan dengan suhu
tubuh.
Faktor
abiotik dan biotik dapat memicu peningkatan populasi ulat bulu, khususnya A. submarginata pada tanaman mangga.
Faktor pemicu utama ledakan populasi ulat bulu adalah perubahan ekosistem yang
ekstrem pada agroekosistem mangga. Perubahan tersebut dipicu oleh beberapa hal,
yakni musim hujan yang panjang pada tahun 2010−2011 yang menyebabkan kenaikan
kelembapan udara. Suhu yang berfluktuasi berdampak terhadap iklim mikro yang
mendukung perkembangan ulat bulu. Abu vulkanik akibat letusan Gunung Bromo,
penanaman hanya satu varietas mangga, peralihan fungsi hutan menjadi hutan
produksi, dan penggunaan input kimia seperti pestisida dan pupuk ikut menjadi
pemicu ledakan populasi ulat bulu (Baliadi, 2012).
Pengetahuan
mengenai konsep waktu-suhu dapat membantu dalam mencegah adanya ledakan
populasi hama pertanian dalam hal ini adalah ulat bulu yang menyerang pohon
mangga di Probolinggo. Ledakan populasi ulat tersebut seperti disebutkan pada
bebrapa lieratur disebabkan karena kenaikan kelembaban udara yang dipicu oleh
musim hujan yang panjang. Pengamatan pada sejenis kupu-kupu dan belalang
menunjukkan bahwa laju pertumbuhannya pada suhu yang bervariasi tergolong cepat
dibandingkan pada suhu konstan. Pemantauan terhadap fluktuasi suhu diperlukan
untuk mencegah meledaknya populasi hama pertanian karena ledakan populai
tersebut tidak pasti kapan akan terjadi. Jika ada tanda-tanda fluktuasi suhu
yang menyebabkan perkembangan dan pertumbuhan ulat bulu berlangsung cepat maka
Dinas Pertanian dan para petani dapat melakukan usaha untuk memberantas atau
mengurangi ledakan populasi hama ulat bulu tersebut.
2. Tinggi
rendahnya jumlah individu populasi suatu spesies hewan menunjukkan besar
kecilnya ukuran populasi atau tingkat kelimpahan populasi. Kerapatan populasi
suatu spesies hewan adalah rata-rata jumlah individu per satuan luas area (m2,
Ha, km2) atau per satuan volume medium (cc, liter, air) atau per satuan berat
medium (g, kg, tanah).
Intensitas menunjukkan aspek tinggi
rendahnya kerapatan populasi dalam area yang dihuni spesies. Prevalensi
menunjukkan jumlah dan ukuran area-area yang ditempati spesies dalam konteks
daerah yang lebih luas (masalah sebaran). Suatu spesies hewan
yang prevalensinya tinggi (=prevalen) dapat lebih sering dijumpai. Fekunditas secara umum berarti kemampuan untuk bereproduksi.
Dalam biologi fekunditas adalah laju reproduksi aktual suatu organisme. Pola penyebaran
internal (dispersi)
individu-individu yang sejenis yang membentuk populasi di dalam suatu ekosistem
mengikuti tiga pola dasar yaitu pola penyebaran bergerombol, pola penyebaran
seragam, dan pola penyebaran acak. Kelulushidupan merupakan peluang hidup
dalam suatu saat tertentu.
Pengetahuan tentang
konsep-konsep di atas akan mempermudah dalam penentuan hewan langka, jika
prevalensi suatu hewan rendah dan daerah penyebarannya sempit maka hewan
tersebut dapat disebut hewan langka. Begitupula jika hewan tersebut memiliki
fekunditas yang rendah maka populasinya akan berkurang apalagi jika terjadi
perburuan maka hewan tersebut akan semakin langka sebab angka kelahiran lebih
kecil dari angka kematian, begitupun dengan kelulushidupan dan pola
penyebarannya.
3. Semua
makhluk hidup selalu bergantung kepada makhluk hidup yang lain. Tiap individu
akan selalu berhubungan dengan individu lain yang sejenis atau lain jenis, baik
individu dalam satu populasinya atau individu-individu dari populasi lain.
Interaksi demikian banyak kita lihat di sekitar kita. Interaksi antar organisme
dalam komunitas ada yang sangat erat dan ada yang kurang erat. Organisme tidak dapat hidup sendiri di
alam, tetapi selalu bersama-sama dengan spesies lain, akan tetapi pada beberapa
spesies, kehadiran spesies lain tidak berpengaruh, tetapi pada beberapa kasus,
spesies-spesies tersebut akan saling berinteraksi. Keberadaan interaksi ini
menuju satu arah yaitu populasi suatu spesies akan berubah dengan kehadiran
spesies kedua.
Parasitisme
adalah hubungan antara dua individu, yaitu antara parasit yang memperoleh
keuntungan dan hospes yang dirugikan. Parasitisme tersebut terutama adalah
mengenai koaxi dalam makanan, dan juga perlindungan parasit oleh inangnya.
Suatu parasit tidak akan membunuh inangnya dengan segera, sebelum dapat
menyelesaikan daur reproduksinya. Bila parasit segera membunuh inangnya segera
setelah infeksi, maka parasit tidak bisa berreproduksi dan akan punah.
Keseimbangan antara hospes dan parasit akan terganggu jika hospes tersebut
menghasilkan antibody atau bahan lain yang dapat mengganggu pertumbuhan parasit
terganggu jika hospes tersebut menghasilkan antibody atau bahan lain yang dapat
mengganggu pertumbuhan parasit.
Parasit mengkonsumsi hanya bagian dari mangsa (inang = hospes) bukannya keseluruhan
dari tubuh. Dalam jangka pendek tidak menyebabkan letal, tetapi bersifat
merugikan. Serangan parasit memusat pada satu atau hanya beberapa individu
selama hidupnya. Hal tersebut menggambarkan adanya semacam keakraban antara
parasit dengan inangnya, dan hal yang semacam itu tidak ditemukan pada mangsa
dengan pemangsa sejati dan “Grazers”. Contohnya adalah cacing pita, cacing
hati, virus cacar dan Hycobacterium
tuberculosis.
Parasitoid
adalah sekelompok insect yang dikelompokkan dengan dasar perilaku bertelur
betina dewasa dan pola perkembangan larva selanjutnya. Terutama untuk insect
dari ordo Hymenoptera, dan juga meliputi banyak Diptera. Mereka hidup bebas
pada waktu dewasa, tetapi betinanya bertelur di dalam, pada atau dekat insect
lain. Larva parasitoid berkembang di dalam (atau jarang pada) individu inang
yang masih tingkat pre-dewasa. Pada awalnya hanya sedikit kerusakan yang tampak
ditimbulkan terhadap inangnya, tetapi akhirnya hampir dapat mengkonsumsi
seluruh inangnya dan dengan demikian dapat membunuh inang tersebut sebelum atau
sesudah stadium kepompong (pupa). Jadi parasitoid dewasa, bukan inang dewasa
yang akan muncul dari kepompong. Sering hanya satu parasitoid yang berkembang
dari tiap inang, tetapi pada beberapa kejadian beberapa individu hidup bersama
dalam satu inang. Jelasnya parasitoid hidup bersama akrab dengan individu inang
tunggal (seperti pada parasit), mereka tidak menyebabkan kematian segera atas
inang (seperti pada parasit), mereka tidak menyebabkan kematian segera atas
inang (Seperti parasit dan juga “Grazers”), tetapi juga dapat menyebabkan
kematian (seperti pemangsa).
Semua
makhluk hidup pasti melakukan interaksi. Dalm arti lain parasitisme merupakan
suatu pola interaksi yang terjadi secara
alamiah karena ada hubungan dalam rantai makan, dan keterlibatan populasi yang
satu terhadap yang lain merupakan hubungan langsung dan menghambat pertumbuhan populasi lainnya.
Setelah mengetahui apa itu parasitisme dan parasitoidisme
maka hal tersebut dapat diterapkan dalam pengendalian biologis.
Individu-individu yang bersifat parasit dapat mengnfeksi hama pertanian misalnya saja spesies
kutu penggigit yang terbatas hanya hidup di kepala atau daerah tertentu pada
tubuh burung serta terdapatnya
jenis cacing pita pada saluran pencernaanya. Parasit tidak dapat menyebabkan kematian
dengan segera, tetapi mungkin menyebabkan kerusakan struktur tubuh jika
terjadinya secara berlebihan, dan dapat menyebabkan kematian sehingga populasi burung akan berkurang. Sama halnya dengan parasitisme,
individu-ndividu parasitoidisme akan meninfeksi serangga-serangga yang menjadi
hama. Parasitisme dan parasitidoisme pengendali alami untuk menjaga tidak
terjainya suatu ledakan populasi.
4. Nilai dan karakter yang harus ditimbulkan pada siswa ketika belajar
konsep-konsep dalam ekologi hewan antara lain nilai dan karakter yang berbasis
IPA, religius dan sosial.
·
Nilai dan karakter yang berbasis IPA
Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai
komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik antara
lain suhu, air, kelembaban, cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik
adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba.
Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk
hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling mempengaruhi dan
merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatuan.
Hal-hal tersebut di atas dapat menumbuhkan rasa keingintahuan yag besar
sehingga para siswa akan terus mencoba mengkaji hal-hal yang ada di sekitar
mereka terutama bebagai macam binatang. Selain itu para siswa mampu menerapkan
konsep-konsep dalam ekologi tumbuhan di berbagai bidang misalnya saja
pertanian.
·
Nilai dan karakter yang berbasis religius atau keagamaan
Dengan mempelajari konsep-konsep dalam ekologi hewan akan menambah rasa
ketaqwaan kepada Allah SWT. Dalam ekologi hewan para siswa akan menyadari bahwa
alam semesta begitu luas dengan berbagai macam-macam jenis satwa yang hidup di
dalamnya dan bagaiman interaksinya dengan sesama makhluk lainya. Dengan
menyadari begitu maha kuasanya Allah SWT maka akan menanamkan para siswa untuk
tidak bersifat sombong dan selalu bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh
Allah kepada mereka. Selain itu, mereka akn belajar bagaimana menjaga dan
melestarikan alam disekitarnya. Contoh riilnya dalam kehidupan para siswa tidak
akan seenaknya menyiksa hewan-hewan yang tidak bersalah karena mengingat bahwa
hewan-hewan tersebut juga makhluk ciptaan Allah sama seperti mereka.
·
Nilai dan karakter yang berbasis sosial
Di dalam ekologi hewan para siswa akan melihat dan memahami bagaiman
interaksi antar satu hewan dengan hewan lainnya baik yang sejenis maupun yang
lainnya. Dengan contoh-contoh beberapa hewan seperti burung yang terbang bergerombol
dan membentuk formasi huruf V untuk mempermudah saat terbang ke tempat, jika
burung pemimpin yang terbang di depan lelah maka burung lain akn menggantikan
posisinya atau jika salah satu burung sakit, terluka atau tertembak, maka
burung lainnya akan keluar dari formasi untuk membantu dan melindungi burung
tersebut. Mereka tinggal hingga burung tersebut mati atau dapat terbang kembali
(Sudarsono, 2012). Perilaku burung tersebut dapat dijadikan contoh para siswa
dalam membina suatu hubungan sosial karena manusia merupakan makhluk sosial
yang tidak dapat hidup sendiri. Para siswa akan lebih dapat menghargai
sesamanya dan saling tolong menolong ketika dalam kesusahan serta bergotong
royong dalam menjaga alam tempt tinggal mereka.
5. Kondisi suatu lingkungan sangat berpengaruh terhadap aktifitas atau tingkah
laku dari ndividu-individu hewan yang tinggal di lingkungan tersebut. Dengan
mengamati tingkah laku individu tersebut maka kita dapat memonitoring perubahan
kondisi lingkungan tersebut. Salah satu individu hewan yang dapa digunakan
untuk monitoring kondisi lingkungan adalah ikan mas (Cyprinus carpio). Ikan tersebut akan menunjukkan reaksi jika
terjadi perubahan lingkungan air atau adanya senyawa pencemar dengan perubahan
aktifitas pernafasannya selain itu juga pemeriksaan darah yang berfungsi untuk
mengetahui adanya gangguan fisiologis. Jika pada suatu peairan tertentu banyak
terdapat ikan maka dapat diramalkan bahwa kondisi peraian tersebut tergolong
baik, namun jika jumlah ikan kurang atau
bahkan tidak ada sama sekali bisa diramalkan bahwa kondisi perairan tersebut
tidak baik atau tercemar.
Untuk menaksir efek toksiologis
dari beberapa polutan kimia dalam lingkungan dapat diuji dengan menggunakan
species yang mewakili lingkungan yang ada di perairan tersebut. Species yang
diuji harus dipilih atas dasar kesamaan biokemis dan fisiologis dari species
dimana hasil percobaan digunakan (Price, 1979). Kriteria organisme yang cocok
unutk digunakan sebagai uji hayati tergantung dari beberapa faktor :
1. Organisme harus sensitif
terhadap material beracun dan perubahan lingkungan
2. Penyebanya luas dan mudah
didapat dalam jumlah yang banyak
3. Mempunyai arti ekonomi, rekreasi dan
kepentingan ekologi baik secara daerah maupun nasional
4.
Mudah dipelihara dalam laboratorium
5.
Mempunyai kondisi yang baik, bebas dari penyakit dan parasit
6.
Sesuai untuk kepentingan uji hayati (American Public Health Associaton, 1976 cit.
Mason, 1980).
Ikan
dapat menunjukkan reaksi terhadap perubahan fisik air maupun terhadap adanya
senyawa pencemar yang terlarut dalam batas konsentrasi tertentu. Reaksi ini
dapat ditunjukkan dalam percobaan di laboratorim, di mana terjadi perubahan
aktivitas pernafasan yang besarnya perubahan
diukur atas dasar irama membuka dan menutupnya rongga
“Buccal” dan ofer kulum (Mark, 1981).
Pengukuran
aktivitas pernafasan merupakan cara yang amat peka untuk mengukur reaksi ikan
terhadap kehadiran senyawa pencemar. Hasil penelitian yang pernah dilakukan
memperlihatkan adanya peningkatan jumlah gerakan ofer kulum “Fingerlink”
(Cirrhina Mrigala) yang terkena deterjen (Lal, Misra, Viswanathan dan Krisna
Murty, 1984).
Sebagai
indikator dari toxicant sub lethal juga dapat dilihat dari frekwensi bentuk
ikan. Yang mana digunakan untuk membersihkan pembalikan aliran air pada insang,
yang merupakan monitoring pergerakan respiratory (Anderson dan Apolonia, 1978).
Selain
gerakan ofer kulum dan frekwensi batuk,
parameter darah merupakan indikator yang sensitif pada kehidupan sebagai
peringatan awal dari kwalitas air. Perubahan faal darah
ikan yang diakibatkan senyawa pencemar, akan timbul sebelum terjadinya kematian
(Larsson et al, 1976). Pemeriksaan darah mempunyai kegunaan dalam menentukan
adanya gangguan fisiologis tertentu dari ikan. Parameter faal darah dapat
diukur dengan mengamati kadar hemoglobin, nilai hematokrit dan jumlah sel darah
merah (Goenarsoh, 1988).
Ikan
mas (Cyprinus Carpio L.) dapat digunakan sebagai hewan uji hayati karena sangat
peka terhadap perubahan lingkungan (Brinley cit. Sudarmadi, 1993). Di Indonesia
ikan yang termasuk famili Cyprinidae ini termasuk ikan yang populer dan paling
banyak dipelihara rakyat, serta mempunyai nilai ekonomis. Ikan mas sangat peka
terhadap faktor lingkungan pada umur lebih kurang tiga bulan dengan ukuran 8-12
cm. Disamping itu ikan mas di kolam biasa (Stagnant water) kecepatan tumbuh 3
cm setiap bulanya (Arsyad dan Hadirini cit. Sudarmadi, 1993).
Berdasrkan
hasil penelitian bahwa konsentrasi limbah, suhu, DO, pH, salinitas dan
alkalinitas berpengaruh nyata terhadap mortalitas ikan mas (Cyprinus carpio L.)
(Suwindere, 1983). Hal ini disebabkan jika ditinjau secara kimia bahwa
kehidupan dan pertumbuhan organisme perairan dipengaruhi oleh pH,
DO, BOD, suhu, salinitas dan alkalinitas (Rasyad, 1990).
Penelitian
tentang kesanggupan ikan mas untuk mendeteksi insektisida memperlihatkan bahwa
ikan mas (Cyprinus carpui L.) dapat mendeteksi adanya insektisida bayrusil
dalam air pada konsentrasi 55 ppm. Dimana pada konsentrasi tersebut setelah 10
menit ikan mas telah menghindari akan trjadi
perubahan frekwensi gerakan ofer kulum yang mula- mula cepat kemudian melambat
dan ahirnya lemas (Suin, 1994).
6.
Relung ekologi suatu (individu, populasi) hewan adalah status fungsional
hewan itu dalam habitat yang ditemptinya sehubungan dengan adaptasi-adaptasi
fisiologis, struktural, dan pola perilakunya. Hewan-hewan, seperti sekalian
organisme lainnya dapat lulushidup, tumbuh, berkembang biak, dan menjaga
keberlangsungan hidup populasinya hanya dalam batas-batas kisaran kondisi
faktor-faktor biotok dan ketersediaan sumberdaya tertentu saja. Batas-batas itu
yang tiada lain adalah adaptasi-adatasi fisiologinya, strukturalnya serta
perilakunya (Sukarsono, 2012).
Pengetahuan mengenai relung suatu hewan dapat memberikan informasi yang
membantu dalam konservasi hewan tersebut, misalnya penggunan ruang, konsumsi
makan, kisaran temperatur, syarat-syarat bereproduksi, kebiasaan atau pola
hidupnya dan lain sebagainya. Konservasi ini dilakukan untuk mempertahankan populasi
dari hewan-hewan yang sudah langka agar tidak mengalami kepunahan. Salah satu
hewan langka yang ada di Indonesia adalah babirusa.
Babirusa
merupakan hewan endemik Sulawesi, Indonesia. Babirusa (Babyrousa babyrussa)
tersebar di seluruh Sulawesi bagian utara, tengah, dan tenggara, serta pulau sekitar seperti Togian, Sula,
Malenge, Buru., dan Maluku. Satwa langka endemik ini menyukai daerah-daerah
pinggiran sungai atau kubangan lumpur di hutan dataran rendah.
Beberapa wilayah yang diduga masih
menjadi habitat babirusa antara lain Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dan Cagar Alam Panua. Sedangkan
di Cagar Alam Tangkoko, dan Suaka Margasatwa Manembo-nembo satwa unik endemik
Sulawesi ini mulai langka dan jarang ditemui.
Populasinya
hingga sekarang tidak diketahui dengan pasti. Namun berdasarkan persebarannya
yang terbatas oleh IUCN Redlist satwa endemik ini didaftarkan dalam
kategori konservasi Vulnerable (Rentan) sejak tahun 1986. Dan oleh CITES binatang langka dan dilindungi
inipun didaftar dalam Apendiks I yang berarti tidak boleh diburu dan
diperdagangkan.
Habitat
babirusa adalah hutan hujan dataran rendah. Satwa ini menyukai kawasan hutan
dimana terdapat aliran sungai, sumber air, rawa, dan cerukan-cerukan air yang
memungkinkannya mendapatkan air minum dan berkubang. Satwa ini mengunjungi
tempat-tempat air dan tempat mengasin (salt-lick) secara teratur untuk
mendapatkan garam-garam mineral untuk membantu pencernaannya (Clayton, 1996).
Habitat babirusa banyak ditemukan di hutan hujan tropis. Dalam pengamatan yang pernah dilakukan di Pulau Buru, diketahui bahwa babirusa sering menempati daerah bukit dan pegunungan batu karang bahkan dengan tebing terjal sekalipun. Babirusa terlihat tidur di atas batu atau tiang-tiang batu yang tersusun secara alamiah, dan tidak pernah ditemukan tidur di atas tumpukan dedaunan. Babirusa sering terlihat mandi di kubangan yang airnya agak bersih dan tidak becek, dan pada musim panas, sering terlihat berendam di sungai.
Sang binatang endemik Babirusa,
mempunyai tubuh yang meyerupai babi namun berukuran lebih kecil. Yang
membedakan dari babi dan merupakan ciri khas babirusa mempunyai taring panjang
yang mencuat menembus moncongnya. Lantaran bentuk tubuh dan taring yang
dipunyainya hewan endemik Sulawesi ini dinamakan babirusa.
Satwa yang terancam punah ini terdiri atas tiga subspesies yang masih bertahan
hidup sampai sekarang yaitu; Babyrousa babyrussa babyrussa, Babyrousa
babyrussa togeanensis, dan Babyrousa babyrussa celebensis serta satu
subspesies yang diyakini telah punah yakni Babyrousa babyrussa bolabatuensis.
Babirusa termasuk binatang yang
bersifat menyendiri namun sering terlihat dalam kelompok-kelompok kecil dengan
satu babirusa jantan yang paling kuat sebagai pemimpinnya.
Babirusa mencari makan tidak
menyuruk tanah seperti babi hutan, sebagai
herbivora babirusa menyukai makanan berupa dedaunan dari jenis pohon kayu
kuning, gondal dan daun meranti yang jatuh. Selain itu babirusa juga menyukai
jenis umbi-umbian seperti kilo, tunas globa dan rebung, juga jamur dan
buah-buahan seperti mangga. Kadangkala babirusa terlihat suka mengais
pohon-pohon tumbang yang telah membusuk, kemungkinan
untuk mendapatkan sumber protein hewani berupa ulat atau cacing. Babirusa
jarang sekali masuk ke kebun masyarakat untuk mencari makan dan atau merusak
tanaman yang ada di dalam kebun. Makanan utama babirusa adalah berbagai jenis
buah (frugivorous), namun satwa ini juga mengkonsumsi buah, daun, rumput,
bahan-bahan dari satwa (diantaranya daging, ikan, burung dan serangga) dalam jumlah yang kecil (Clayton, 1996). Satwa langka endemik Indonesia ini
suka berkubang dalam lumpur sehingga menyukai tempat-tempat yang dekat dengan
sungai.
Babirusa betina hanya melahirkan
sekali dalam setahun dengan jumlah bayi satu sampai dua ekor sekali melahirkan.
Masa kehamilannya berkisar antara 125 hingga 150 hari. Selah melahirkan bayi
babirusa akan disusui induknya selama satu bulan. Setelah itu akan mencari
makanan sendiri di hutan bebas. Hewan endemik ini dapat bertahan hingga berumur
24 tahun.
Babirusa termasuk binatang yang
pemalu dan selalu berusaha menghindar jika bertemu dengan manusia. Namun jika merasa
terganggu, hewan endemik Sulawesi ini akan menjadi sangat buas.
DAFTAR PUSTAKA
Amelia. 2011. Populasi
Hewan (online) http://ekologihewan-nova.blogspot.com/2011/12/populasi-hewan.html
Anonim. 2011. Strategi
Konservasi Babirusa (online) http://pemodelanku.blogspot.com/2011/06/strategi-konservasi-babirusa-sulawesi.html
Chahaya, Indra.2003. Ikan Sebagai Alat Monitor Pencemaran (online) http://Repository.Usu.Ac.Id/Bitstream/123456789/3668/1/Fkm-Indra%20c2.Pdf
Kurniasih. 2011. Pemangsaan,
Herbivora, Parasitoididme (online) http://ranikurniasih.blogspot.com/2011/11/pemangsaa-herbivora-parasitoidisme-dan.html
Mustari, Abdul Haris. 2011. Ekologi dan Konservasi Babirusa (online) http://abdulharismustari.blogspot.com/2011/03/ekologi-dan-konservasi-babirusa.html
Rika. 2008. Pengaruh
Salinitas (0 Ppt, 5 Ppt, 10 Ppt, Dan 15 Ppt) Terhadap Pertumbuhan dan Kelulushidupan Ikan Nila Hasil Hibrid Strain Gift
Dengan Strain Singapura (online) http://Rezafishcom.Blogspot.Com/
Sari.2012.
Makalah Ekologi
Hewan Populasi Hewan
Dan Parameternya (online) http://dhilamulia.blogspot.com/2012/11/blog-post.html.
Sudarsono, Nia Rizky. 2012. Great
Teachers: Belajar pada Alam, Binatang, dan Penyakit. Tangerang: IN AzNa Books
Sukarsono. 2012. Pengantar Ekologi Hewan. Malang: Umm
Press
Yaqin. 2013. Aplikasi Konsep
Waktu Suhu pada Hewan Poikiloterm dalam Pengendalian Hama Pertanian (online ) http://ainulbio.wordpress.com/2013/03/09/aplikasi-konsep-waktu-suhu-pada-hewan-poikiloterm-dalam-pengendalian-hama-pertanian/
Yuliantoro Baliadi, Bedjo, Dan Suharsono.2012. Ulat Bulu Tanaman Mangga Di Probolinggo: Identifikasi, Sebaran, Tingkat
Serangan, Pemicu, dan Cara Pengendalian. Jurnal Litbang Pertanian, 31(2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar