Minggu, 21 April 2013


JAWABAN UJIAN TENGAH  SEMESTER
MATA KULIAH  EKOLOGI HEWAN




Mata Kuliah
EKOLOGI HEWAN


Dosen Pembina
HUSAMAH, S.Pd
Program Studi
PENDIDIKAN BIOLOGI
Nama Mahasiswa dan NIM/Kelas
YUSI ANISATUL MAWADDAH
201110070311088 / IV C


 












PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
APRIL 2013





PETUNJUK PENGERJAAN TAKE HOME
1.        Untuk memahami soal-soal take home ini, sebaiknya Anda berdiskusi dengan teman. Lalu kemudian, silahkan jawab sesuai dengan literatur yang Anda miliki dan sesuai dengan pemahaman masing-masing. Jawaban yang menurut dosen pembimbing memiliki tingkat kesamaan tinggi/mencurigakan maka tidak akan diproses!
2.        Setiap jawaban sebaiknya juga dilengkapi dengan literatur. Jadi, jawab dulu sesuai dengan pemahaman Anda dan dukung dengan literatur! Tuliskan literatur yang anda gunakan pada bagian akhir. Jawaban yg bersumber dari buku dan jurnal ilmiah maka akan ada nilai tambah.
3.        Perhatikan teknik penulisan, banyak sedikitnya salah ketik dan kebakuan kalimat juga menjadi penilaian!
4.        Jawaban ini juga harus di-upload di blog masing-masing. Jika Anda bisa me-linkan jawaban dengan literatur maka ada nilai tambah.



SOAL
1.        Konsep waktu-suhu yang berlaku pada hewan  poikilotermik sangat berguna aplikasinya dalam pengendalian hama pertanian, khususnya dari golongan serangga. Jelaskan arti konsep waktu secara singkat, dan berikan contoh ulasannya terkait dengan kasus ulat bulu yang menyerbu tanaman mangga di Probolinggo Tahun 2010.

2.        Jelaskan pemanfaatan konsep kelimpahan, intensitas dan prevalensi, disperse, fekunditas, dan kelulushidupan dalam kaitannya dengan penetapan hewan langka!

3.        Jelaskan aplikasi konsep interaksi populasi, khususnya parasitisme dan parasitoidisme, dalam pengendalian biologis. Berikan contohnya!

4.        Nilai sikap dan karakter apa yang harus ditumbuhkan pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam ekologi hewan? Berikan contoh riilnya!

5.        Uraikan satu contoh pemanfaatan indikator hewan untuk monitoring kondisi lingkungan secara mendetail, mulai dari jenis, prinsip dan praktik pemanfaatannya!

6.        Apakah manfaat pengetahuan tentang relung bagi aktivitas konservasi? Berikan salah satu contoh hewan langka, lakukan kajian tentang relungnya. (dalam satu kelas, hewan yang dikaji tidak boleh sama)!







JAWABAN :
1.      Suhulingkungan menentukan suhu tubuh bagi hewan poikiloterm atau yang sering disebut hewan berdarah dingin. Suhu menjadi faktor pembatas bagi makhluk hidup terutama hewan poikiloterm.  Suhu tubuh menentukan kerja enzim-enzim yang diperlukan oleh tubuh makhluk hidup yang berfungsi membantu proses metabolisme dalam tubuh. Dari sudut pandang ekologi, suhu lingkungan sangat penting terutama bagi hewan poikiloterm untuk aktivitas dan pengaruh terhadap laju perkembangannya.
Suhu lingkungan mempengaruhi suhu tubuh dari hewan-hewan poikiloterm. Bahkan suhu ini menjadi faktor pembatas bagi kebanyakan makhluk hidup. Suhu tubuh menetukan kerja enzim-enzim yang membantu metabolisme di dalam tubuh. Kepentingan suhu ini tidak hanya pada aktivitasnya melainkan pula berkaitan dengan laju perkembangannya.  Dalam kisaran yang tidak mematikan, pengaruh paling penting oleh suhu terhadap hewan poikiloterm dari sudut pandang ekologik adalah pengaruh suhu atas perkembangan dan pertumbuhan. Dalam hal ini langsung tampak adanya hubungan linear antara laju perkembangan jika dikaitkan dengan suhu tubuh.
Faktor abiotik dan biotik dapat memicu peningkatan populasi ulat bulu, khususnya A. submarginata pada tanaman mangga. Faktor pemicu utama ledakan populasi ulat bulu adalah perubahan ekosistem yang ekstrem pada agroekosistem mangga. Perubahan tersebut dipicu oleh beberapa hal, yakni musim hujan yang panjang pada tahun 2010−2011 yang menyebabkan kenaikan kelembapan udara. Suhu yang berfluktuasi berdampak terhadap iklim mikro yang mendukung perkembangan ulat bulu. Abu vulkanik akibat letusan Gunung Bromo, penanaman hanya satu varietas mangga, peralihan fungsi hutan menjadi hutan produksi, dan penggunaan input kimia seperti pestisida dan pupuk ikut menjadi pemicu ledakan populasi ulat bulu (Baliadi, 2012).
Pengetahuan mengenai konsep waktu-suhu dapat membantu dalam mencegah adanya ledakan populasi hama pertanian dalam hal ini adalah ulat bulu yang menyerang pohon mangga di Probolinggo. Ledakan populasi ulat tersebut seperti disebutkan pada bebrapa lieratur disebabkan karena kenaikan kelembaban udara yang dipicu oleh musim hujan yang panjang. Pengamatan pada sejenis kupu-kupu dan belalang menunjukkan bahwa laju pertumbuhannya pada suhu yang bervariasi tergolong cepat dibandingkan pada suhu konstan. Pemantauan terhadap fluktuasi suhu diperlukan untuk mencegah meledaknya populasi hama pertanian karena ledakan populai tersebut tidak pasti kapan akan terjadi. Jika ada tanda-tanda fluktuasi suhu yang menyebabkan perkembangan dan pertumbuhan ulat bulu berlangsung cepat maka Dinas Pertanian dan para petani dapat melakukan usaha untuk memberantas atau mengurangi ledakan populasi hama ulat bulu tersebut.



2.      Tinggi rendahnya jumlah individu populasi suatu spesies hewan menunjukkan besar kecilnya ukuran populasi atau tingkat kelimpahan populasi. Kerapatan populasi suatu spesies hewan adalah rata-rata jumlah individu per satuan luas area (m2, Ha, km2) atau per satuan volume medium (cc, liter, air) atau per satuan berat medium (g, kg, tanah).

Intensitas menunjukkan aspek tinggi rendahnya kerapatan populasi dalam area yang dihuni spesies. Prevalensi menunjukkan jumlah dan ukuran area-area yang ditempati spesies dalam konteks daerah yang lebih luas (masalah sebaran). Suatu spesies hewan yang prevalensinya tinggi (=prevalen) dapat lebih sering dijumpai. Fekunditas secara umum berarti kemampuan untuk bereproduksi. Dalam biologi fekunditas adalah laju reproduksi aktual suatu organisme. Pola penyebaran internal (dispersi) individu-individu yang sejenis yang membentuk populasi di dalam suatu ekosistem mengikuti tiga pola dasar yaitu pola penyebaran bergerombol, pola penyebaran seragam, dan pola penyebaran acak. Kelulushidupan merupakan peluang hidup dalam suatu saat tertentu.

Pengetahuan tentang konsep-konsep di atas akan mempermudah dalam penentuan hewan langka, jika prevalensi suatu hewan rendah dan daerah penyebarannya sempit maka hewan tersebut dapat disebut hewan langka. Begitupula jika hewan tersebut memiliki fekunditas yang rendah maka populasinya akan berkurang apalagi jika terjadi perburuan maka hewan tersebut akan semakin langka sebab angka kelahiran lebih kecil dari angka kematian, begitupun dengan kelulushidupan dan pola penyebarannya.

3.      Semua makhluk hidup selalu bergantung kepada makhluk hidup yang lain. Tiap individu akan selalu berhubungan dengan individu lain yang sejenis atau lain jenis, baik individu dalam satu populasinya atau individu-individu dari populasi lain. Interaksi demikian banyak kita lihat di sekitar kita. Interaksi antar organisme dalam komunitas ada yang sangat erat dan ada yang kurang erat. Organisme tidak dapat hidup sendiri di alam, tetapi selalu bersama-sama dengan spesies lain, akan tetapi pada beberapa spesies, kehadiran spesies lain tidak berpengaruh, tetapi pada beberapa kasus, spesies-spesies tersebut akan saling berinteraksi. Keberadaan interaksi ini menuju satu arah yaitu populasi suatu spesies akan berubah dengan kehadiran spesies kedua.
Parasitisme adalah hubungan antara dua individu, yaitu antara parasit yang memperoleh keuntungan dan hospes yang dirugikan. Parasitisme tersebut terutama adalah mengenai koaxi dalam makanan, dan juga perlindungan parasit oleh inangnya. Suatu parasit tidak akan membunuh inangnya dengan segera, sebelum dapat menyelesaikan daur reproduksinya. Bila parasit segera membunuh inangnya segera setelah infeksi, maka parasit tidak bisa berreproduksi dan akan punah. Keseimbangan antara hospes dan parasit akan terganggu jika hospes tersebut menghasilkan antibody atau bahan lain yang dapat mengganggu pertumbuhan parasit terganggu jika hospes tersebut menghasilkan antibody atau bahan lain yang dapat mengganggu pertumbuhan parasit.

Parasit mengkonsumsi hanya bagian dari mangsa (inang = hospes) bukannya keseluruhan dari tubuh. Dalam jangka pendek tidak menyebabkan letal, tetapi bersifat merugikan. Serangan parasit memusat pada satu atau hanya beberapa individu selama hidupnya. Hal tersebut menggambarkan adanya semacam keakraban antara parasit dengan inangnya, dan hal yang semacam itu tidak ditemukan pada mangsa dengan pemangsa sejati dan “Grazers”. Contohnya adalah cacing pita, cacing hati, virus cacar dan Hycobacterium tuberculosis.

Parasitoid adalah sekelompok insect yang dikelompokkan dengan dasar perilaku bertelur betina dewasa dan pola perkembangan larva selanjutnya. Terutama untuk insect dari ordo Hymenoptera, dan juga meliputi banyak Diptera. Mereka hidup bebas pada waktu dewasa, tetapi betinanya bertelur di dalam, pada atau dekat insect lain. Larva parasitoid berkembang di dalam (atau jarang pada) individu inang yang masih tingkat pre-dewasa. Pada awalnya hanya sedikit kerusakan yang tampak ditimbulkan terhadap inangnya, tetapi akhirnya hampir dapat mengkonsumsi seluruh inangnya dan dengan demikian dapat membunuh inang tersebut sebelum atau sesudah stadium kepompong (pupa). Jadi parasitoid dewasa, bukan inang dewasa yang akan muncul dari kepompong. Sering hanya satu parasitoid yang berkembang dari tiap inang, tetapi pada beberapa kejadian beberapa individu hidup bersama dalam satu inang. Jelasnya parasitoid hidup bersama akrab dengan individu inang tunggal (seperti pada parasit), mereka tidak menyebabkan kematian segera atas inang (seperti pada parasit), mereka tidak menyebabkan kematian segera atas inang (Seperti parasit dan juga “Grazers”), tetapi juga dapat menyebabkan kematian (seperti pemangsa).

Semua makhluk hidup pasti melakukan interaksi. Dalm arti lain parasitisme merupakan suatu pola interaksi yang terjadi secara alamiah karena ada hubungan dalam rantai makan, dan keterlibatan populasi yang satu terhadap yang lain merupakan hubungan langsung dan menghambat pertumbuhan populasi lainnya. Setelah mengetahui apa itu parasitisme dan parasitoidisme maka hal tersebut dapat diterapkan dalam pengendalian biologis. Individu-individu yang bersifat parasit dapat mengnfeksi  hama pertanian misalnya saja spesies kutu penggigit yang terbatas hanya hidup di kepala atau daerah tertentu pada tubuh burung serta  terdapatnya  jenis cacing pita pada saluran pencernaanya. Parasit tidak dapat menyebabkan kematian dengan segera, tetapi mungkin menyebabkan kerusakan struktur tubuh jika terjadinya secara berlebihan, dan dapat menyebabkan kematian sehingga populasi burung akan berkurang. Sama halnya dengan parasitisme, individu-ndividu parasitoidisme akan meninfeksi serangga-serangga yang menjadi hama. Parasitisme dan parasitidoisme pengendali alami untuk menjaga tidak terjainya suatu ledakan populasi.

4.      Nilai dan karakter yang harus ditimbulkan pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam ekologi hewan antara lain nilai dan karakter yang berbasis IPA, religius dan sosial.
·         Nilai dan karakter yang berbasis IPA
Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik antara lain suhu, air, kelembaban, cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatuan.
Hal-hal tersebut di atas dapat menumbuhkan rasa keingintahuan yag besar sehingga para siswa akan terus mencoba mengkaji hal-hal yang ada di sekitar mereka terutama bebagai macam binatang. Selain itu para siswa mampu menerapkan konsep-konsep dalam ekologi tumbuhan di berbagai bidang misalnya saja pertanian.

·         Nilai dan karakter yang berbasis religius atau keagamaan
Dengan mempelajari konsep-konsep dalam ekologi hewan akan menambah rasa ketaqwaan kepada Allah SWT. Dalam ekologi hewan para siswa akan menyadari bahwa alam semesta begitu luas dengan berbagai macam-macam jenis satwa yang hidup di dalamnya dan bagaiman interaksinya dengan sesama makhluk lainya. Dengan menyadari begitu maha kuasanya Allah SWT maka akan menanamkan para siswa untuk tidak bersifat sombong dan selalu bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka. Selain itu, mereka akn belajar bagaimana menjaga dan melestarikan alam disekitarnya. Contoh riilnya dalam kehidupan para siswa tidak akan seenaknya menyiksa hewan-hewan yang tidak bersalah karena mengingat bahwa hewan-hewan tersebut juga makhluk ciptaan Allah sama seperti mereka.
·         Nilai dan karakter yang berbasis sosial
Di dalam ekologi hewan para siswa akan melihat dan memahami bagaiman interaksi antar satu hewan dengan hewan lainnya baik yang sejenis maupun yang lainnya. Dengan contoh-contoh beberapa hewan seperti burung yang terbang bergerombol dan membentuk formasi huruf V untuk mempermudah saat terbang ke tempat, jika burung pemimpin yang terbang di depan lelah maka burung lain akn menggantikan posisinya atau jika salah satu burung sakit, terluka atau tertembak, maka burung lainnya akan keluar dari formasi untuk membantu dan melindungi burung tersebut. Mereka tinggal hingga burung tersebut mati atau dapat terbang kembali (Sudarsono, 2012). Perilaku burung tersebut dapat dijadikan contoh para siswa dalam membina suatu hubungan sosial karena manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Para siswa akan lebih dapat menghargai sesamanya dan saling tolong menolong ketika dalam kesusahan serta bergotong royong dalam menjaga alam tempt tinggal mereka.

5.      Kondisi suatu lingkungan sangat berpengaruh terhadap aktifitas atau tingkah laku dari ndividu-individu hewan yang tinggal di lingkungan tersebut. Dengan mengamati tingkah laku individu tersebut maka kita dapat memonitoring perubahan kondisi lingkungan tersebut. Salah satu individu hewan yang dapa digunakan untuk monitoring kondisi lingkungan adalah ikan mas (Cyprinus carpio). Ikan tersebut akan menunjukkan reaksi jika terjadi perubahan lingkungan air atau adanya senyawa pencemar dengan perubahan aktifitas pernafasannya selain itu juga pemeriksaan darah yang berfungsi untuk mengetahui adanya gangguan fisiologis. Jika pada suatu peairan tertentu banyak terdapat ikan maka dapat diramalkan bahwa kondisi peraian tersebut tergolong baik, namun jika jumlah  ikan kurang atau bahkan tidak ada sama sekali bisa diramalkan bahwa kondisi perairan tersebut tidak baik atau tercemar.

Untuk menaksir efek toksiologis dari beberapa polutan kimia dalam lingkungan dapat diuji dengan menggunakan species yang mewakili lingkungan yang ada di perairan tersebut. Species yang diuji harus dipilih atas dasar kesamaan biokemis dan fisiologis dari species dimana hasil percobaan digunakan (Price, 1979). Kriteria organisme yang cocok unutk digunakan sebagai uji hayati tergantung dari beberapa faktor :
1. Organisme harus sensitif terhadap material beracun dan perubahan lingkungan
2. Penyebanya luas dan mudah didapat dalam jumlah yang banyak
3. Mempunyai arti ekonomi, rekreasi dan kepentingan ekologi baik secara daerah maupun nasional
4. Mudah dipelihara dalam laboratorium
5. Mempunyai kondisi yang baik, bebas dari penyakit dan parasit
6. Sesuai untuk kepentingan uji hayati (American Public Health Associaton, 1976 cit. Mason, 1980).
Ikan dapat menunjukkan reaksi terhadap perubahan fisik air maupun terhadap adanya senyawa pencemar yang terlarut dalam batas konsentrasi tertentu. Reaksi ini dapat ditunjukkan dalam percobaan di laboratorim, di mana terjadi perubahan aktivitas pernafasan yang besarnya perubahan diukur atas dasar irama membuka dan menutupnya rongga “Buccal” dan ofer kulum (Mark, 1981).
Pengukuran aktivitas pernafasan merupakan cara yang amat peka untuk mengukur reaksi ikan terhadap kehadiran senyawa pencemar. Hasil penelitian yang pernah dilakukan memperlihatkan adanya peningkatan jumlah gerakan ofer kulum “Fingerlink” (Cirrhina Mrigala) yang terkena deterjen (Lal, Misra, Viswanathan dan Krisna Murty, 1984).
Sebagai indikator dari toxicant sub lethal juga dapat dilihat dari frekwensi bentuk ikan. Yang mana digunakan untuk membersihkan pembalikan aliran air pada insang, yang merupakan monitoring pergerakan respiratory (Anderson dan Apolonia, 1978).
Selain gerakan ofer kulum dan frekwensi batuk, parameter darah merupakan indikator yang sensitif pada kehidupan sebagai peringatan awal dari kwalitas air. Perubahan faal darah ikan yang diakibatkan senyawa pencemar, akan timbul sebelum terjadinya kematian (Larsson et al, 1976). Pemeriksaan darah mempunyai kegunaan dalam menentukan adanya gangguan fisiologis tertentu dari ikan. Parameter faal darah dapat diukur dengan mengamati kadar hemoglobin, nilai hematokrit dan jumlah sel darah merah (Goenarsoh, 1988).
Ikan mas (Cyprinus Carpio L.) dapat digunakan sebagai hewan uji hayati karena sangat peka terhadap perubahan lingkungan (Brinley cit. Sudarmadi, 1993). Di Indonesia ikan yang termasuk famili Cyprinidae ini termasuk ikan yang populer dan paling banyak dipelihara rakyat, serta mempunyai nilai ekonomis. Ikan mas sangat peka terhadap faktor lingkungan pada umur lebih kurang tiga bulan dengan ukuran 8-12 cm. Disamping itu ikan mas di kolam biasa (Stagnant water) kecepatan tumbuh 3 cm setiap bulanya (Arsyad dan Hadirini cit. Sudarmadi, 1993).
Berdasrkan hasil penelitian bahwa konsentrasi limbah, suhu, DO, pH, salinitas dan alkalinitas berpengaruh nyata terhadap mortalitas ikan mas (Cyprinus carpio L.) (Suwindere, 1983). Hal ini disebabkan jika ditinjau secara kimia bahwa kehidupan dan pertumbuhan organisme perairan dipengaruhi oleh pH, DO, BOD, suhu, salinitas dan alkalinitas (Rasyad, 1990).
Penelitian tentang kesanggupan ikan mas untuk mendeteksi insektisida memperlihatkan bahwa ikan mas (Cyprinus carpui L.) dapat mendeteksi adanya insektisida bayrusil dalam air pada konsentrasi 55 ppm. Dimana pada konsentrasi tersebut setelah 10 menit ikan mas telah menghindari akan trjadi perubahan frekwensi gerakan ofer kulum yang mula- mula cepat kemudian melambat dan ahirnya lemas (Suin, 1994).
6.      Relung ekologi suatu (individu, populasi) hewan adalah status fungsional hewan itu dalam habitat yang ditemptinya sehubungan dengan adaptasi-adaptasi fisiologis, struktural, dan pola perilakunya. Hewan-hewan, seperti sekalian organisme lainnya dapat lulushidup, tumbuh, berkembang biak, dan menjaga keberlangsungan hidup populasinya hanya dalam batas-batas kisaran kondisi faktor-faktor biotok dan ketersediaan sumberdaya tertentu saja. Batas-batas itu yang tiada lain adalah adaptasi-adatasi fisiologinya, strukturalnya serta perilakunya (Sukarsono, 2012).

Pengetahuan mengenai relung suatu hewan dapat memberikan informasi yang membantu dalam konservasi hewan tersebut, misalnya penggunan ruang, konsumsi makan, kisaran temperatur, syarat-syarat bereproduksi, kebiasaan atau pola hidupnya dan lain sebagainya. Konservasi ini dilakukan untuk mempertahankan populasi dari hewan-hewan yang sudah langka agar tidak mengalami kepunahan. Salah satu hewan langka yang ada di Indonesia adalah babirusa.
Babirusa merupakan hewan endemik Sulawesi, Indonesia. Babirusa (Babyrousa babyrussa) tersebar di seluruh Sulawesi bagian utara, tengah, dan tenggara, serta pulau sekitar seperti Togian, Sula, Malenge, Buru., dan Maluku. Satwa langka endemik ini menyukai daerah-daerah pinggiran sungai atau kubangan lumpur di hutan dataran rendah.
Beberapa wilayah yang diduga masih menjadi habitat babirusa antara lain Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dan Cagar Alam Panua. Sedangkan di Cagar Alam Tangkoko, dan Suaka Margasatwa Manembo-nembo satwa unik endemik Sulawesi ini mulai langka dan jarang ditemui.
Populasinya hingga sekarang tidak diketahui dengan pasti. Namun berdasarkan persebarannya yang terbatas oleh IUCN Redlist satwa endemik ini didaftarkan dalam kategori konservasi Vulnerable (Rentan) sejak tahun 1986. Dan oleh CITES binatang langka dan dilindungi inipun didaftar dalam Apendiks I yang berarti tidak boleh diburu dan diperdagangkan.

Habitat babirusa adalah hutan hujan dataran rendah. Satwa ini menyukai kawasan hutan dimana terdapat aliran sungai, sumber air, rawa, dan cerukan-cerukan air yang memungkinkannya mendapatkan air minum dan berkubang. Satwa ini mengunjungi tempat-tempat air dan tempat mengasin (salt-lick) secara teratur untuk mendapatkan garam-garam mineral untuk membantu pencernaannya (Clayton, 1996).

Habitat babirusa banyak ditemukan di hutan hujan tropis. Dalam pengamatan yang pernah dilakukan di Pulau Buru, diketahui bahwa babirusa sering menempati daerah bukit dan pegunungan batu karang bahkan dengan tebing terjal sekalipun. Babirusa terlihat tidur di atas batu atau tiang-tiang batu yang tersusun secara alamiah, dan tidak pernah ditemukan tidur di atas tumpukan dedaunan. Babirusa sering terlihat mandi di kubangan yang airnya agak bersih dan tidak becek, dan pada musim panas, sering terlihat berendam di sungai
.
Sang binatang endemik Babirusa, mempunyai tubuh yang meyerupai babi namun berukuran lebih kecil. Yang membedakan dari babi dan merupakan ciri khas babirusa mempunyai taring panjang yang mencuat menembus moncongnya. Lantaran bentuk tubuh dan taring yang dipunyainya hewan endemik Sulawesi ini dinamakan babirusa.
Satwa yang terancam punah ini terdiri atas tiga subspesies yang masih bertahan hidup sampai sekarang yaitu; Babyrousa babyrussa babyrussa, Babyrousa babyrussa togeanensis, dan Babyrousa babyrussa celebensis serta satu subspesies yang diyakini telah punah yakni Babyrousa babyrussa bolabatuensis.
Babirusa termasuk binatang yang bersifat menyendiri namun sering terlihat dalam kelompok-kelompok kecil dengan satu babirusa jantan yang paling kuat sebagai pemimpinnya.
Babirusa mencari makan tidak menyuruk tanah seperti babi hutan, sebagai herbivora babirusa menyukai makanan berupa dedaunan dari jenis pohon kayu kuning, gondal dan daun meranti yang jatuh. Selain itu babirusa juga menyukai jenis umbi-umbian seperti kilo, tunas globa dan rebung, juga jamur dan buah-buahan seperti mangga. Kadangkala babirusa terlihat suka mengais pohon-pohon tumbang yang telah membusuk, kemungkinan untuk mendapatkan sumber protein hewani berupa ulat atau cacing. Babirusa jarang sekali masuk ke kebun masyarakat untuk mencari makan dan atau merusak tanaman yang ada di dalam kebun. Makanan utama babirusa adalah berbagai jenis buah (frugivorous), namun satwa ini juga mengkonsumsi buah, daun, rumput, bahan-bahan dari satwa (diantaranya daging, ikan, burung dan serangga) dalam jumlah yang kecil (Clayton, 1996). Satwa langka endemik Indonesia ini suka berkubang dalam lumpur sehingga menyukai tempat-tempat yang dekat dengan sungai.
Babirusa betina hanya melahirkan sekali dalam setahun dengan jumlah bayi satu sampai dua ekor sekali melahirkan. Masa kehamilannya berkisar antara 125 hingga 150 hari. Selah melahirkan bayi babirusa akan disusui induknya selama satu bulan. Setelah itu akan mencari makanan sendiri di hutan bebas. Hewan endemik ini dapat bertahan hingga berumur 24 tahun.
Babirusa termasuk binatang yang pemalu dan selalu berusaha menghindar jika bertemu dengan manusia. Namun jika merasa terganggu, hewan endemik Sulawesi ini akan menjadi sangat buas.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2012. Fekunditas (online) http://id.wikipedia.org/wiki/Fekunditas
Anonim. 2012. Ekologi (online) http://id.wikipedia.org/wiki/Ekologi
Chahaya,  Indra.2003. Ikan Sebagai Alat Monitor Pencemaran (online) http://Repository.Usu.Ac.Id/Bitstream/123456789/3668/1/Fkm-Indra%20c2.Pdf
Kurniasih. 2011. Pemangsaan, Herbivora, Parasitoididme (online) http://ranikurniasih.blogspot.com/2011/11/pemangsaa-herbivora-parasitoidisme-dan.html
Mustari, Abdul Haris. 2011. Ekologi dan Konservasi Babirusa (online) http://abdulharismustari.blogspot.com/2011/03/ekologi-dan-konservasi-babirusa.html
Rika. 2008. Pengaruh Salinitas (0 Ppt, 5 Ppt, 10 Ppt, Dan 15 Ppt) Terhadap Pertumbuhan dan Kelulushidupan Ikan Nila Hasil Hibrid Strain Gift Dengan Strain Singapura (online) http://Rezafishcom.Blogspot.Com/
Sari.2012. Makalah Ekologi Hewan Populasi Hewan Dan Parameternya (online) http://dhilamulia.blogspot.com/2012/11/blog-post.html.  
Sudarsono, Nia Rizky. 2012. Great Teachers: Belajar pada Alam, Binatang, dan Penyakit. Tangerang: IN AzNa Books
Sukarsono. 2012. Pengantar Ekologi Hewan. Malang: Umm Press
Yaqin. 2013. Aplikasi Konsep Waktu Suhu pada Hewan Poikiloterm dalam Pengendalian Hama Pertanian (online ) http://ainulbio.wordpress.com/2013/03/09/aplikasi-konsep-waktu-suhu-pada-hewan-poikiloterm-dalam-pengendalian-hama-pertanian/
Yuliantoro Baliadi, Bedjo, Dan Suharsono.2012. Ulat Bulu Tanaman Mangga Di Probolinggo: Identifikasi, Sebaran, Tingkat Serangan, Pemicu, dan Cara Pengendalian. Jurnal Litbang Pertanian, 31(2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar